Oleh:
Rima Wulan Safitri/13141433/5H
Sejarah pendidikan Indonesia selalu saja
mengulang permasalahan yang sama. Pendidikan nampak seperti bagian intimidasi
dari politik negeri. “Ganti menteri identik dengan ganti kurikulum”, sehingga tidak
jarang kurikulum kerap terombang-ambing tanpa sistem dan mekanisme yang pasti.
Kurikulum hanya cenderung sebagai bahan percobaan tanpa ada evaluasi yang jelas
dari kurikulum sebelumnya. Sepertinya kebijakan pendidikan diterapkan tanpa ada
persiapan yang matang. Permasalahan pemberlakukan kurikulum juga terlihat dari
kurangnya sosialisasi, guru seolah-olah mengalami serangan jantung tiba-tiba. Kita
lihat saja meskipun dunia pendidikan selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan
ilmiah menjelang penerapan kurikulum baru. Tapi kegiatan yang ada hanya bersifat
teoritik tanpa ada action plan yang
jelas. Hal ini justru mengakibatkan guru sebagai central utama pelaku
pendidikan hanya kaya teori tapi miskin dalam implementasi dan pengalaman. Jadi
sangat wajar jika kegiatan yang pada awalnya bertujuan untuk membawa pencerahan
bagi guru tapi justru membuat mereka semakin kebingungan. Bercermin dari
keadaan tersebut, bukankah ini jelas termasuk salah satu malpraktek yang
terjadi di dunia pendidikan kita? Suatu keadaan yang timbul akibat penerapan
kebijakan penyelenggara pendidikan tanpa dibekali dengan adanya pertimbangan
dan prosedural yang benar-benar matang.
Di pertengahan tahun 2013 Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) resmi diberhentikan diganti dengan Kurikulum
2013. Kurikulum yang dikembangkan atas dasar dan alasan tantangan masa depan, sehingga
diharapkan mampu menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang siap bersaing
dengan negara-negara Asean. Dan faktanya disaat sudah diberlakukan setengah
jalan tapi justru diberhentikan. Ini jelas menjadikan keteraturan kurikulum di
Indonesia menjadi sangat rancu. Penghapusan kurikulum 2013 dan diberlakukan
kembali kurikulum KTSP merupakan salah
satu bukti terjadinya malpraktek dalam kurikulum pendidikan kita. Dan lagi
guru, masyarakat bahkan siswa menjadi korban atas kebijakan pemerintah yang
asal-asalan. Jika perubahan kurikulum baru bertujuan untuk memperbaiki dan
merombak sistem pendidikan sebelumnya, maka penerapannya tidak boleh hanya sekedar
untuk coba-coba. Seharusnya sebelum suatu kurikulum diberlakukan harus dikaji
secara matang dan harus mempertimbangkan kesiapan pemakai dan pelaksana program
pendidikan. Terlebih lagi, tidak mudah mengubah sistem yang sudah terbiasa dijalani
dengan sistem lain dalam hitungan waktu yang relatif singkat.
Mari belajar pada negera Finlandia,
negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Di sana kurikulum yang
diterapkan cukup konsisten, tidak ada istilah gonta-ganti kebijakan. Kewenangan
dalam pembuatan kurikulum tidak berpusat pada pemerintah, pemerintah hanya membuat
pedoman nasional pendidikan. Kewenangan diserahkan kepada guru, dan yang paling
menonjol orang tua juga dilibatkan untuk mengevaluasi kurikulum, karena
pemerintah sadar guru dan orang tualah yang memiliki peran penting dalam
perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Sehingga peserta didik merasa senang
bersekolah tidak terbebani dengan teori-teori berat, semua sekolah menunjukkan
kualitas terbaiknya, tidak ada sekolah yang paling unggul karena sistem
pendidikan di Finlandia dibangun dengan dasar kesetaraan, sekolah tidak hanya
gratis tapi juga berkualitas karena memang pendidik-pendidik sebagai sentral
utama pelaku program pendidikan memiliki mutu yang luar biasa, nasib guru
sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Jadi di sini yang perlu dibenahi
dalam sistem pendidikan Indonesia bukan hanya sekedar pembaharuan kurikulum,
tapi pemerataan pendidikan dan
pembaharuan kualitas guru juga perlu mendapat perhatian khusus. Karena sehebat
apapun subtansi yang ada pada kurikulum tidak dapat tersampaikan jika
pendidikan kita belum merata apalagi guru hanya bermodal standar bukan mengembangkan potensi yang sudah ada. Jikapun
kewenangan pembuatan kurikulum masih dipegang oleh pemerintah, seharusnya pemerintah
sebagai pemegang sentral kebijakan pendidikan juga harus melibatkan mahasiswa
dan guru dalam pembaharuan-pembaharuan kurikulum, sosialisasi juga harus gencar
dilakukan dengan persiapan yang cukup matang. Dengan demikian tidak akan terjadi kedangkalan
pengetahuan dalam mengimplementasikan program pendidikan di sekolah sehingga
malpraktek kurikulum yang sering terjadi di negeri ini dapat dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar