NEGARAWAN
MUDA DI NEGERI POLITISI
Oleh
Rima Wulan Safitri
Indonesia merupakan negera yang tidak hanya memiliki kemajemukan dalam
budaya tetapi juga kemajemukan dalam permasalahan bangsa. Terungkapnya
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di negara ini bukan merupakan tanda
suatu keberhasilan, justru sebaliknya ini menandakan bahwa sangat minimnya sosok
negarawan dalam pengembangan demokrasi dan lemahnya penguatan identitas
karakter bangsa dalam diri politisi dan penjabat negeri. Sebenarnya yang
dibutuhkan negara ini bukanlah politisi-politisi yang menyebar bubuk janji
untuk menarik perhatian publik lalu menggunakan jabatannya hanya untuk
kepentingan politik dan pribadi belaka, Indonesia butuh negarawan yaitu seseorang
yang mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi, seseorang yang memikirkan generasi yang akan datang bukan memikirkan
pemilihan yang akan datang, seseorang yang memiliki ketepatan pemikiran dalam
membuat ataupun memutuskan suatu kebijakan untuk menyejahterakan bukan untuk menjerumuskan
dan membebani rakyat kecil, Indonesia butuh itu. Dan ini adalah tugas pemuda
sebagai generasi penggerak sekaligus penerus bangsa untuk menjadi sosok
negarawan muda di negeri yang dihuni dan dikuasi oleh para politisi. “Berikan
aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Jika kau beri
aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Bahkan pemimpin hebat bangsa Indonesia
Soekarno telah menekankan bahwa pemuda adalah aset terpenting sebuah bangsa. Karena pemuda adalah
nahkoda dan negara adalah kapal, hendak dibawa ke arah mana sang bahtera
tergantung sang nahkoda.
Kita lihat Indonesia wajahnya
tergores berbagai permasalahan yang timbul akibat politisi dan penjabat negeri mengabdi tidak dengan hati seperti permasalahan
di bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya. Dalam bidang
hukum sering kita temukan bahwa hukum cenderung tumpul ke atas tapi begitu
tajam ke bawah. Gagalnya hukum di Indonesia dapat kita lihat dari maraknya
praktek korupsi yang telah menjadi budaya ngetren di negeri ini. Banyak
politisi daerah yang terlibat kasus korupsi di segala lapisan, mulai dari
lurah, bupati, walikota hingga anggota dewan perwakilan daerah. Hukum
sepertinya tunduk kepada para politisi negeri. Penegakan hukum yang setengah
hati menjadikan negeri ini sebagai surga bagi koruptor. Sementara kita lihat
rakyat-rakyat kecil yang tidak mempunyai jabatan dan wewenang seperti kasus
yang terjadi pada nenek Asyani, rakyat kecil yang dituduh mencuri 38 papan kayu
jati di lahan Perhutani Jatibanteng Situbondo telah ditahan pada 15 Desember
2014 dengan ancaman tahanan 5 tahun penjara, sungguh ironis hukum di negeri ini.
Jika pelakunya memiliki status sosial tinggi maka hukum berjalan sangat lambat
sementara jika pelakunya memiliki status sosial rendah maka proses penegakan
hukum begitu cepat. Lagi-lagi hukum dibuat untuk menghancurkan rakyat kecil dan
menjunjung tinggi kaum elit negeri.
Permasalahan di bidang politik juga sangat memprihatinkan, kita
lihat saja hari-hari menjelang pemilu baik dalam pemilihan di tingkat desa
sampai pemilihan presiden. Politik uang menyebar luas, para politisi berusaha menyuap
rakyat kecil dengan uang dua puluh ribuan sampai lima puluh ribuan. Sepertinya
di mata politisi rakyat tidak ada harganya. Kita bayangkan saja dengan masa
jabatan 5 tahun mereka membeli rakyat dengan harga lima puluh ribuan, satu hari
rakyat hanya dihargai dua puluh tujuh rupiah. Negara kita negara demokrasi dari
rakyat dan untuk rakyat, seharusnya rakyat yang cerdas tidak menerima segala
bentuk suapan, karena harga diri dan martabat bangsa ini jauh lebih mahal dari
milyaran rupiah. Di sisi lain, kita lihat banyak tim sukses para politisi
berkoar-koar saling menjelekkan dan menjatuhkan bahkan tidak segan-segan
membuat berita yang jauh dari kenyataan. Iya politik memang begitu kejam.
Pemimpin besar seharusnya mampu berlapang dada, bukan menghalalkan segala cara
untuk memperoleh kemenangan.
Di
bidang ekonomi, selalu saja yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin menjerit.
Yang kaya sibuk mencari kursi dukungan dan memperkaya diri sementara yang
miskin sibuk mencari sesuap nasi. Kita lihat saja kasus Salim Kancil dan Tosan
pada 26 September 2015, rakyat kecil yang memperjuangkan penuh nasib lingkungan
dan dengan keras hati melakukan penolakan terhadap penambangan liar, tapi justru
dianggap mempersulit tujuan mereka hingga diperlakukan, dianiaya bahkan dibunuh
secara keji. Dan mirisnya ini dilakukan oleh penjabat desa yang seharusnya
mempunyai wewenang untuk melindungi rakyat dan lingkungan. Bahkan kades
Hariyono salah satu tersangka dari kasus Salim Kancil dan Tosan juga
mengungkapkan bahwa ada aktor intelektual yang juga menerima uang dari hasil
penambangan pasir liar seperti di tingkat Polsek Pasirian, Koramil, Camat,
Perhutani, Lembaga Permasyarakatan Desa Hutan sampai anggota DPRD Lumajang, lagi-lagi
para pejabat negeri tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka punya. Ironis
sungguh ironis, rakyat memilih mereka untuk melindungi, mengoyami dan membangun
kesejahteran bersama bukan untuk diinjak-injak.
Sementara dalam bidang pendidikan, selama ini kurikulum
hanya cenderung sebagai bahan percobaan tanpa ada evaluasi yang jelas dari
kurikulum sebelumnya, ganti menteri identik dengan ganti kurikulum. Bapak dan
Ibu Politisi lihatlah negera Finlandia negara dengan sistem pendidikan terbaik
di dunia, peserta didik merasa senang bersekolah tidak terbebani dengan
teori-teori berat, semua sekolah menunjukkan kualitas terbaiknya, tidak ada
sekolah yang paling unggul karena sistem pendidikan di Finlandia dibangun
dengan dasar kesetaraan, sekolah tidak hanya gratis tapi juga berkualitas
karena memang pendidik-pendidik sebagai sentral utama pelaku program pendidikan
memiliki mutu yang luar biasa, nasib guru sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Dalam pembuatan kurikulum pemerintah hanya membuat pedoman nasional pendidikan
sementara kewenangan membuat kurikulum diserahkan kepada guru, karena
pemerintah sadar gurulah yang lebih mengetahui tentang perkembangan peserta
didik.
Jadi di sini yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan
Indonesia bukan hanya pembaharuan kurikulum, tapi pemerataan pendidikan dan pembaharuan kualitas guru juga perlu
mendapat perhatian khusus. Karena sehebat apapun subtansi yang ada pada
kurikulum tidak dapat tersampaikan jika pendidikan kita belum merata apalagi guru
hanya bermodal standar bukan
mengembangkan potensi yang sudah ada. Pemerintah sebagai pemegang sentral
kebijakan pendidikan juga harus melibatkan mahasiswa dan guru dalam
pembaharuan-pembaharuan kurikulum, dengan demikian tidak akan terjadi kedangkalan
pengetahuan dalam mengimplementasikan program pendidikan di sekolah.
Dalam bidang sosial budaya, banyak para politisi negeri
bertindak sesuka hati. Merokok tidak pada tempatnya, berpakaian layaknya model
di catwalk, dengan perhiasan yang
begitu mencolok, tubuh dipenuhi banyak tato, banyak terjadi perselingkuhan dan
yang sering diperlihatkan di media seperti pada tanggal 8 April 2015 dalam
rapat kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama DPR, dua anggota
Komisi VII DPR RI saling mengeluarkan urat-urat otot hanya karena sebuah
teguran. Ini budaya mana? Ini tradisi barat bukan Indonesia, bukan. Indonesia
adalah negara yang menjunjung tinggi tata krama. Menjadi pemimpin adalah teladan,
siap tidak siap harus mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyat. Seharusnya
para politisi negeri mampu memberdayakan dirinya dan mengembangkan diri menjadi
pribadi yang lebih baik sehingga perilaku-perilaku yang muncul benar-benar
sebuah karakter bukan topeng untuk mencari udang di balik batu.
Solusi dari kompleknya
permasalahan yang ada di bangsa ini adalah di tangan pemuda. Perlu ditekankan
sekali lagi bahwa pemuda adalah bagian Indonesia. Jika Indonesia diibaratkan
manusia, pemuda adalah kedua kaki. Apa yang terjadi jika mempunyai kedua kaki
tetapi tidak mau menggerakkan? Bukankah kita akan start di tempat tanpa ada perubahan. Lantas apa yang terjadi jika
kita menggerakkan ke arah yang salah? Bukan hanya kaki yang merasa rugi tetapi
semua anggota tubuh ikut merasakan. Jangan tanyakan apa yang diberi tanah air
untuk kita! Tanyakan pada diri apa yang mampu kita beri untuk tanah air!
Lihatlah negeri ini banyak politisi-politisi mengaku negarawan hebat, berjuang
mengabdi untuk negara itu katanya, tapi faktanya sebagian besar mengatasnamakan
negara untuk kepentingan pribadi semata. Berangkat dari kenyataan tersebut, pemuda
sebagai generasi penggerak sekaligus harapan dan penerus bangsa harus mampu
membawa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik. Ini bukan hanya tugas tapi juga
merupakan tanggung jawab. Jika
saat ini Indonesia sedang kehabisan pemimpin yang tulus, arif, bijaksana,
jujur, amanah, cerdas, peduli dan memikirkan rakyat. Maka sudah waktunya pemuda
Indonesia mempersiapkan diri menjadi negarawan sejati. Karena jika kita ingin
membersihkan sesuatu maka alat kebersihan itulah yang harus bersih terlebih
dahulu.
Yang perlu dilakukan pemuda bangsa adalah cerdas dalam
intelektual dan sikap serta terampil dalam keahlian. Menjadi pemuda yang cerdas
dalam segala aspek seharusnya dapat diperoleh melalui hasil pendidikan khususnya
di perguruan tinggi. Jadi yang perlu diperbaiki adalah mindset para pemuda kita
bahwa seharusnya pendidikan tidak hanya mementingkan
aspek pengetahuan tapi pengetahuan, sikap dan keterampilan merupakan hal yang
sama pentingnya. Jika hanya pengetahuan yang didewakan maka para pemuda akan
terbiasa menggunakan segala cara untuk mendapat nilai terbaik. Akibatnya kejujuran
dan kerja keras dalam berproses tidak ada harganya, nilai bagaikan harga mati
penentu kesuksesan seseorang. Jangan
sampai kejujuran dikalahkan oleh sebuah harga diri.
Jika sudah seperti ini maka hasil akhir yang didapat, Indonesia memang menang
dalam teori tapi soal skill dan sikap
Indonesia start di nol. Lalu
bagaimana negara ini bisa berkembang menuju kemajuan jika output yang dihasilkan merupakan produk gagal pendidikan? Jadi masa-masa dalam lembaga
pendidikan juga merupakan saat yang tepat bagi pemuda untuk menanamkan,
membentuk dan membiasakan sikap nasionalis yang sesuai dengan karakter dan
cita-cita bangsa. Tanamkan sikap jujur! Hentikan praktek menyontek! Hargai
kerja keras dalam berproses dan tanamkan rasa takut bahwa apa yang kita
kerjakan tak pernah luput dari pandangan Tuhan. Dengan pembiasaan sikap seperti
ini maka wajah-wajah pemimpin bangsa yang cenderung membiarkan dirinya
melakukan penyelewengan sehingga menyebabkan krisis bangsa ini semakin
berlarut-larut tidak akan terulang di tangan generasi hebat bangsa.
Sedangkan keterampilan dalam memimpin, menyelesaikan suatu
masalah dengan ide-ide dan pemikiran yang cemerlang dapat diperoleh dari
pengalaman-pengalaman berorganisasi baik di dalam maupun di luar lembaga
pendidikan, membuat karya-karya ilmiah, melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut pemuda belajar bekerja
tanpa pamrih, terjun langsung di masyarakat dan belajar memiliki loyalitas
tanpa batas terhadap apa yang mereka kerjakan. Jadi yang terpenting pemuda harus
mempunyai keinginan dan semangat untuk bergerak dan melakukan perubahan. Jangan
menjadi pemuda yang malas, apatis dan tidak mempunyai kepekaan terhadap sosial
bahkan terbawa arus karena tidak mempunyai filter
yang kuat. Ingat belajar tanpa semangat dan kesungguhan bagai menempa besi
tanpa dipanaskan. Marilah berjuang dan berusaha menjadi produk berhasil
pendidikan, karena keberhasilan pemuda dalam pengetahuan, sikap dan skill
merupakan jalan munculnya bibit-bibit negarawan muda di negeri politisi ini. Di
tangan negarawan muda maka Indonesia akan menjadi negara yang besar, negara
yang sesuai dengan cita-cita terdahulu bangsa. Masa depan bangsa di tangan kita
negarawan muda Indonesia, mari bergerak siapkan diri lawan politisi berkedok
negarawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar