Rabu, 06 Januari 2016

Kumpulan Cerpen (Antara Fiktif dan Realita)



Awal Tanpa Asa

Namaku Maya Febriana Putri Solastika. Nama yang cukup indah bukan? Nama yang terlalu indah bagi gadis yang suka mengeluh sepertiku. Aku adalah salah satu mahasiswi pendidikan di Universitas PGRI Solo. Universitas dengan almamater berwarna kuning. Sebenarnya ini begitu menyakitkan karena aku sangat mengidam-idamkan memakai almamater berwarna merah. Dan aku sama sekali tak menyukai warna kuning. Tapi ya sudahlah, mungkin takdir berkata lain.
 Hari-hariku di Universitas PGRI Solo berlalu begitu saja, tak ada yang berkesan. Tak kutemukan hal baru di sana, semua terasa membosankan. Banyak teman baru berlagak seperti jutawan. Dan aku tidak suka kondisi seperti ini, terlalu datar. Bagiku kuliah hanya menjadi rutinitas tanpa tujuan yang jelas, duduk manis berpura-pura mendengarkan nyanyian tanpa nada dari dosen. Nyanyian yang justru meninabobokanku.
Tapi pagi ini ada yang berbeda, seperti ada malaikat yang mengagetkanku. “Permisi Pak!” Sapa pria berkulit putih berwajah manis. “Maaf Pak, saya terlambat! Tadi di jalan kehabisan bensin Pak.” Tegasnya. Spontan satu kelas menertawakannya. “Nama saya Reza. Saya mahasiswa baru di kelas ini, pindahan dari kelas G Pak.” Lanjutnya. “Karena belum ada 15 menit Saudara terlambat, silahkan duduk!” Ucap Bapak Joko. “Terima kasih Pak.” Jawab Reza. Memang semua dosen yang memberi mata kuliah di kelas G juga mengajar di kelasku, jadi tidak ada masalah jika ada mahasiswa yang ingin pindah kelas.
“Bawa bolpein dua?” Tanya Reza padaku. Aku langsung menoleh ke samping. Ternyata kulihat sosok arjuna sedang duduk di sampingku. Pandanganku memerah, ‘Tuhan dia begitu manis.” Ungkapku dalam hati. Kuambil sesuatu di kotak pensil dan kuberikan kepada Reza tanpa bisa berkata apapun. “Hey, ini penghapus bukan bolpein.” Kata Reza kaget. Langsung kutarik tanganku, dan benar ternyata yang kuberikan pada Reza bukanlah bolpein tapi penghapus “tuing..tuing”. May, kau menciptakan kesan pertama yang sungguh memalukan.
Kali ini benar-benar ku pastikan apa yang kuambil dari kotak pensil tidak salah lagi. Aku tak ingin malu untuk kedua kalinya. Kucoba satu per satu bolpein yang ada di kotak pensil hingga kutemukan satu bolpein yang kuanggap cocok dipakai Reza. Bolpein dengan merk Kinko. Kuarahkan tanganku di hadapan Reza sambil menggenggam sebuah bolpein berwarna hitam. “Terimakasih! Tapi maaf aku sudah meminjam bolpein pada Nur.” Ucapnya dengan nada yang sangat manis. Kebetulan memang Nur duduk di belakang Reza. Wajahku seketika menjadi layu. Rasanya berat sekali menggerakan bibir ini untuk sekedar membalas ucapan Reza. “Ah! Dia tau nama Nur.” Pikirku dengan memasang wajah murung. Nur, iya Nur. Dia adalah satu-satunya sahabat terbaik yang kumiliki. Dia sosok sahabat yang bijaksana dan penuh cinta
Sekitar 2 jam mengikuti mata kuliah Landasan Pendidikan, baru kali ini rasa penat dan ngantuk sama sekali tak menghampiriku. Karena aku benar-benar tidak memperhatikan lagi apa yang disampaikan Pak dosen. Fokusku hanya tertuju pada sosok pria di sampingku. “Senyumnya, matanya indah sekali, Tuhan. Ini sungguh gila.” Gumanku dalam hati. Rasa-rasanya tak ingin hari ini berlalu begitu saja.
Waktu menunjukan pukul 11.30, ruang kelas mulai terasa panas. Suara adzan dhuhur sudah mulai kudengar. Itu berarti jam kuliah hari ini berakhir. Benar kan? Waktu enggan diajak kompromi, waktu enggan berhenti. Mungkin waktu iri melihatku duduk bersebelahan dengan sosok pangeran tanpa mahkota, Reza.
“Kurasa ku tlah jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Sulit bagiku untuk bisa berhenti mengagumi dirinya.” Ejek Nur dengan suara sumbangnya. “Kau sedang jatuh cinta Nur?” Tanyaku tanpa ekspresi. Nur hanya tertawa, membuatku semakin kebingungan. Aku ambil kaca spion yang ada dalam tasku. Kupandangi wajahku, tak ada yang aneh. Tapi Nur terus menertawakanku. “Hay, kau! Berhentilah tertawa! Apa yang sedang kau tertawakan wahai Nurlela?” Tanyaku sebal. “Tak ada May, tak ada. Hahahaha.” Tawa Nur semakin menjadi-jadi.
Kuanyuhkan kakiku semakin cepat. “Satu…dua…tiga…lari!”
“May, tunggu!” Pintanya. Hampir lima menit kami berkejar-kejaran. Akhirnya kami sampai ke suatu tempat yang aku anggap  sebagai rumah kedua. Tempat yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku mencapai gelar S.Pd. “May, kenapa kita berlari-larian ya?” Tanya Nur dengan nafas tersenga-senga. “Wkwkwkwkwkwk!” Sekarang giliranku menertawakan Nur. Kuambil segelas air lalu keberikan pada Nur, “Ini minum dulu Non, hahaha.” Setelah menghabiskan 3 gelas air, aku dan Nur menuju kamar masing-masing.
Sore ini pukul 16.00, aku dan Nur naik di atas genteng kost. Ku lihat banyak burung berkejaran di atas sana. Langit sudah mulai menampakkan warna merah seakan-akan marah melihat tingkah konyolku berlarian dan bernyanyi-nyanyi di atas genteng. Nur hanya duduk termenung. Kudekati dia, “Kau takut ya ?” Ejekku. Entah apa yang dipikirkan Nur, ia selalu berhasil menyembunyikan keresahan hatinya di hadapanku. Dan aku sama sekali tak mampu membaca pikiran bahkan membaca matanya pun aku belum mampu. Maafkan aku Nur, belum bisa jadi sahabat yang baik untukmu.
Banyak hal yang kuceritakan kepada Nur sore ini. Ia selalu bisa jadi pendengar yang baik untukku. Sementara Nur tetap tak banyak bicara, ia lebih suka mendengarkan daripada didengarkan. Tak ketinggalan, salah satu hal yang kuperbincangkan dengan Nur adalah tentang sosok pria yang baru ku kenal pagi tadi, Reza.
“Nur, Nur! Reza kok tahu namamu ya?” Tanyaku heran. “Hahaha, anda penasaran?” Jawab Nur mengejekku. Aku hanya memasang wajah murung. Kugerak-gerakkan bibirku sebagai tanda aku sedang sebal padanya. “May, May! Kamu taukan? Semua benda punyaku, aku beri lebel Nur. Biar tidak hilang, hahahaha. Ya mungkin Reza tahu namaku dari bolpein yang dipinjamnya. Hahaha.” Kami tertawa terbahak-bahak. Tidak terasa matahari sudah mulai bersembunyi. Tiupan angin yang kencang seolah-olah mengusir kami untuk segera turun. Suara adzan magrib mengakhiri perbincanganku sore ini. Kamipun turun dan segera mengambil air wudhu.
Reza, sebelum bertemu dengannya. Aku selalu menertawakan seseorang jika ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Menurutku itu hal yang konyol, tak mungkin terjadi di dunia nyata, itu hanya ada di ftv pagi. Tapi kali ini aku harus menertawakan diriku sendiri, aku kalah melawan apa yang kuyakini. Aku salah! Cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Sekarang aku mengalaminya, dan itu bukan hal yang konyol. Itu hal yang indah, bahkan sangat indah.
Waktu cepat sekali berputar hingga mentari sudah kembali menyembul di ufuk timur. Mulai ku beranjak dari tempat tidur. Suara kicauan burung-burung menambah suasana hangat pagi ini. Segera ku bergegas untuk mandi. Pagi ini aku harus benar-benar tampil semaksimal mungkin. Berharap Reza mengulurkan tangannya dan mengajakku berkenalan. Khayalan yang terlalu tinggi May, hahaha.
Dengan langkah terburu-buru sampailah aku di depan pintu kelas. Pintu berwarna coklat kusam. Langkahku seketika terhenti. Kulihat banyak wanita cantik bergerumbul di kursi belakang. “Apa yang sedang mereka lakukan?” Tanyaku dalam hati. Dengan penuh rasa penasaran kulanjutkan langkahku menuju bangku bagian depan dekat jendela dan meja dosen, tapi pandanganku tetap tertuju di bangku belakang. “Gubrak!” Aku terjatuh menabrak kursi. “Hahahaha.” Suara gela tawa langsung kudengar. Dengan wajah merah, mata berkaca-kaca menahan rasa sakit di bagian lutut sekaligus menahan rasa malu, aku segera bangun. Kurapikan celana dan jilbabku.  Dan selalu saja aku terlihat bodoh untuk kesekian kalinya. “Bodoh kau May, bodoh!”
Tragedi menabrak kursi ini membuat gerumbulan di bangku belakang terpecah. Kulihat sosok Reza ada di sana. Rasa penasaranku seketika hilang. “Pantas saja bergerumbul di belakang, Lha ada pangeran di sana.” Celotehanku dalam hati. Sebelum pergi meninggalkan Reza, wanita-wanita cantik itu mengulurkan tangannya mengajak Reza berkenalan. Dan aku hanya bisa mengigit jari saja. Tak ada keberanian seperti mereka. Hal ini benar-benar menyakitkan jika dibandingkan memar di bagian lututku. Aku kalah mencuri start, kalah kalah dan selalu kalah.
“Kata Desi kamu tadi nabrak kursi ya May hahaha?” tanya Nur sembari menertawakanku. “Tidak Nur, kursi yang menabrakku.” Jawaban konyol yang kuberikan pada Nur. “Hahahaha, jalan itu hati-hati. Pandangan lurus ke depan. Bukan lurus ke samping.” Ejek Nur. “Jangan berisik! Dosennya datang cah.” Ucap Iqbal ketua tingkat. Banyak ekspresi yang diperlihatkan teman-teman satu kelas ketika dosen mulai memberi mata kuliah. Ada yang sibuk mencatat, ada yang bermain HP.  Ada juga yang  berkali-kali menguap memperlihatkan rasa ngantuk dan bosan. Bahkan kulihat di pojok belakang ruang kelas, ada mahasiswa yang tidur. Sementara aku hanya sibuk melirik Reza. Tak ada materi kuliah yang bisa diserap oleh otak ini.
Kamis, satu minggu sebelum UAS. Benar-benar hari tersial yang pernah ada. Pertama karena Bu Risma dosen matematika mengadakan ulangan mendadak, yang sangat berhasil membuat kepala pusing dan perasaan tidak tenang. Banyak teman khawatir dengan hasil ulangan yang ada. Sementara aku tetap merasa biasa saja. Karena nilai ulanganku di awal semester ini memang tergolong kategori jelek, di bawah rata-rata. “Soalnya mematikan!” Sayup-sayup kudengar Ade mahasiswa yang tergolong aktif di kelas berkomentar. “Iya, susahnya minta ampun De.” Sahut Puji mahasiswi berambut hitam panjang dengan wajah tertekuk. “Dapat nilai 5 saja, ini sudah Alhamdulillah.” Sahut Aswin mahasiswa bertubuh besar berambut keriting. “Ecieh! Anak pinter lagi cemburut aja. Hahaha!” Aku ikut nimbrung. Terlihat jelas mendung menghiasi wajah mereka.
Di samping ulangan mendadak, kesialanku juga dikarenakan Ayu, mahasiswi dengan tubuh yang aduhai, bermata bulat dan berbibir tipis itu menanyakan suatu hal yang tak mungkin kujawab dengan kejujuran. “May, menurutmu aku cocok tidak sama Reza?” Tanya Ayu bersemangat. Kudiam sejenak, berpura-pura memikirkan apa yang ia tanyakan. “Tidak!” Jawabku tegas selang beberapa menit. “Lho kenapa?” Tanya Ayu penasaran. “Kau terlalu sempurna untuknya. Dengan wajahmu yang begitu cantik, Reza terlalu biasa untukmu.” Jawabku dengan tatapan lirik mendelik, tersenyum sinis dan kemudian pergi meninggalkan kelas. Hahaha kisah cinta ini terlalu menyakitkan. Aku hanya bisa jadi secret admirer. Reza begitu cuek padaku. Menyapaku saja tak pernah apalagi diajak ngobrol. Seakan-akan ia tak melihat keberadaanku di sini. Mungkin obrolan meminjam bolpein menjadi obrolan pertama dan terakhir.
30 November merupakan hari pertama UAS semester 1. Langit begitu tampak biru cerah dengan garis-garis biru tipis. Mulai kuayuhkan kakiku menuju kampus bercat merah dengan perasaan tak menentu.“Ulangan? Tak ada persiapan sama sekali.” Pikirku dalam hati.“May, tunggu!” Suara Nur memecahkan lamunanku. Kuhentikan langkahku, “Ayo cepat!”
“Hu..hu..hu..!” Nur mengela nafas panjang. “Hahaha maraton buk? Capek? Ayoo lari lagi!” Sengaja kuberlari meninggalkan Nur. Dengan wajah kemerah-merahan karena kepanasan Nur mengejarku. Ia sepertinya tak mau kalah. “May, awas kau!” Gumannya.
Sesampainya di kelas ternyata telah hadir beberapa mahasiswa di sana. Tepatnya di pojok belakang kelas, tempat mereka biasa ngrumpi. Dan entah mengapa aku lebih senang berada di bangku depan. Bukan karena percaya diri bisa mengerjakan ulangan. Tapi mungkin karena aku terlalu masa bodoh dalam urusan nilai. Belum ada penyesalan akan nilai-nilaiku yang tergolong jelek ini.
Jum’at, 5 Desember adalah hari terakhir UAS. Aku melangkah gontai menaiki anak tangga. Kebetulan Nur sudah berangkat terlebih dahulu. Kulihat Reza dari kejauhan sedang duduk di depan ruang ujian dengan memakai pakaian hitam putih. Kupikirkan cara untuk memancing perhatian Reza. Aku berhenti sejenak, “Nah kutemukan hehehe.” Mulai kupasang aksi konyol. Aku berlagak pincang di hadapan Reza. Sesekali melirik berharap Reza peduli. Mondar mandir tak tentu arah sambil berpura-pura membaca buku berharap ia menyapaku. Oh Tuhan, semua tingkah konyolku sama sekali tidak dipedulikan, menoleh saja tidak. Ingin rasanya ku lepas sepatu dan kulemparkan ke arahnya. Kau menyebalkan, sungguh! Kugigit bibirku kuat-kuat menahan kekecewaan. Pergi berlalu meninggalkan Reza dan aku langsung saja masuk ke ruang ujian.
“Brakkkkkkkkk.” Kubuka pintu ruang 402 yang memang tertutup dengan emosi tingkat tinggi. Selalu saja memalukan. Aku berdiri tegak sambil tersenyum malu. “Maaf  Pak tidak sengaja.” Ucapku pada dosen yang belum kukenal. Spontan pandangan mahasiswa yang ada di ruang 402 tertuju padaku. Oh Maya, kapan kamu berhenti mempermalukan diri sendiri. Aku benar-benar tidak tahu, jika ruang tersebut masih dipakai untuk ujian. Dengan sangat berhati-hati kututup kembali pintu tersebut. Reza yang kebetulan memang duduk di sebelah pintu tertawa terpingkal-pingkal. “Wkwkwkwkkwkwkwkw.” Tawa Reza kudengar. Aku malu bukan kepalang.
Dua minggu setelah UAS, nilai sudah dapat dilihat di papan pengumuman. Banyak sekali mahasiswa mengantri untuk melihat nilai akhir. Aku dan Nur menunggu antrian di dekat papan pengumuman. Tidak lama kemudian suara sepatu beriringan mulai meninggalkan papan pengumuman, waktunya aku dan Nur melihat nilai. “Alhamdulilah” terdengar dari mulut Nur. “Alhamdulilah May IPKku 3,8 kamu berapa?” Tanya Nur. Tanpa ekspresi aku menjawab 2,85. Nur memegang pundakku memasang wajah cemburut menunjukkan rasa kecewa. “Tidak apa-apa Nur, jangan cemberut! Jelek di awal itu tidak masalah, insyaallah ke depannya jauh lebih jelek Nur. wkwkwk.” Ejekku. Mungkin benar kata pepatah “melihat diri sendiri gagal itu memang sakit, tapi jauh lebih sakit jika melihat teman dekat atau sahabat jauh lebih gagal dibanding kita”. Ya mungkin itu yang dirasakan Nur.
“Ingat perjuangan orang tuamu, May! Bayarlah kerja keras mereka dengan nilai yang memuaskan! Ya aku tau, kampus ini memanglah bukan kampus impianmu. Terkadang memang apa yang kita harapkan tak sesuai kenyataan May, tapi inilah hidup. Inilah kenyataan yang harus dijalani. Buktikan kepada Tuhan, kamu akan berhasil di sini! Jangan pernah takut dengan masa depanmu di sini May, karena aku percaya masa depan akan baik ketika masa kini, ketika hari ini kamu mampu melakukan yang terbaik. Semangat! Berjuanglah May!” Walaupun tak banyak bicara, Nur tak pernah bosan menasehatiku. Aku langsung memeluk Nur, “Maafkan aku Nur! Maafkan aku ayah, ibu! Maafkan atas kepayahanku! Semoga penyesalan ini belum terlambat, akan kuperbaiki nilai-nilaiku yang anjlok pada semester depan. Untuk ayah, ibu, Nur dan masa depanku. Kamu bisa May!” ucapku dalam hati.
Sementara tentang perasaanku, tentang kekagumanku kepada Reza masih terus berlanjut. Tapi lebih baik aku mengaguminya dalam diam saja, karena memang saat ini dia terlalu sempurna untuk bersamaku. “Perbaiki diri terlebih dahulu May, jika sudah merasa pantas silahkan kamu ungkapkan! Silahkan! Percayalah semua akan indah pada waktunya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar