Sabtu, 09 Januari 2016

Artikel Pendidikan-Pengangguran Bertitle Sarjana



Sarjana Kok Nganggur

Oleh:
Rima Wulan Safitri/13141433/5H


            Dulu banyak stigma masyarakat yang beranggapan bahwa gelar sarjana adalah jalan tol tercepat untuk mobilisasi dari kelas bawah menuju kelas menengah bahkan kelas atas, karena memang mereka percaya pendidikan adalah harapan dan jalan untuk mengubah status sosial seseorang. Sarjana adalah kebanggaan sekaligus kunci mendapatkan pekerjaan. Tapi realita yang terjadi sarjana hanya sebuah gelar tanpa ada pembuktian yang jelas. Lagi-lagi jumlah angka pengangguran bertitle sarjana semakin tinggi, banyak  sarjana mengalami kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan. Ini jelas akibat gelar atau title akedemik selalu diagung-agungkan sebagai suatu kebanggaan yang sangat mengagumkan tanpa memperdulikan dan memperhitungkan kualitas intelektual dari si pemilik gelar. Diperparah lagi budaya gengsi yang masih terus berkembang sehingga para sarjana lebih mementingkan status sosial daripada hasil kerja keras dan karya sendiri. Hal ini juga mengakibatkan mereka tak mampu melihat lagi potensi diri yang sebenarnya. Ditambah dengan sistem pendidikan Indonesia yang cenderung menciptakan generasi pekerja bukan pencipta lapangan pekerjaan.
            Tentu saja hal ini menimbulkan permasalahan baru di kalangan masyarakat. Kebanyakan dari mereka mulai berpikir bahwa pendidikan bukan lagi  kunci penentu kesuksesan seseorang. Untuk apa menghabiskan banyak biaya, banyak waktu sekaligus pikiran hanya untuk menyandang gelar sarjana yang jelas-jelas belum tentu mampu menjadikan mereka kaya di masa depan. Lantas jika keadaan ini masih terus berlanjut maka akan menggugurkan niat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang jauh lebih tinggi. Keinginan dan semangat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan pun semakin memudar.
            Sehingga seharusnya maraknya pengangguran bertitle sarjana ini  harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sistem pendidikan Indonesia perlu diperbaiki, karena selama ini pendidikan hanya cenderung difokuskan untuk mempelajari teori-teori.  Sehingga memang akan terbentuk sarjana muda berpengetahuan luas yang tercetak, namun soal keterampilan masih cukup minim. Oleh karena itu seharusnya pendidikan tidak hanya sebatas teori tetapi pengembangan keterampilan juga sangat perlu untuk dikembangkan. Dan yang terpenting mindset para sarjana Indonesia perlu diubah, karena sejatinya sarjana adalah gelar yang harus mampu dipertanggungjawabkan oleh si pemilik sebagai suatu pembuktian bahwa seseorang itu mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan mereka yang bukan sarjana. Mereka adalah pelopor dan penggerak yang harus mampu berpikir kritis, kreatif dan inovatif serta mampu memanfaatkan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki bukan hanya sekedar menunggu kesempatan. Sehingga para sarjana harus mampu keluar dari kungkungan budaya gengsi yang masih terus berkembang. Karena menjadi sukses itu adalah sebuah proses dan kerja keras. Sarjana harus berkarya dan mampu mengubah presepsi masyarakat. Sarjana adalah harapan bangsa dan negara untuk memajukan peradaban bangsa, karena jika banyak sarjana menjadi pengangguran terdidik maka bangsa ini akan semakin tersisih. Ingat kata UNESCO “Pendidikan adalah kunci untuk memperbaiki kualitas bangsa sekaligus kualitas hidup manusia.” 
Jangan pernah menyalahkan pendidikan karena pendidikan itu selalu baik, yang perlu diperbaiki adalah sistem, pelaksana dan pemakainya!!!!!!

Kamis, 07 Januari 2016

Tugas UAS Profesi Pendidikan-Artikel Pendidikan



MALPRAKTEK KURIKULUM PENDIDIKAN

Oleh:
Rima Wulan Safitri/13141433/5H

           
           
           
            Sejarah pendidikan Indonesia selalu saja mengulang permasalahan yang sama. Pendidikan nampak seperti bagian intimidasi dari politik negeri. “Ganti menteri identik dengan ganti kurikulum”, sehingga tidak jarang kurikulum kerap terombang-ambing tanpa sistem dan mekanisme yang pasti. Kurikulum hanya cenderung sebagai bahan percobaan tanpa ada evaluasi yang jelas dari kurikulum sebelumnya. Sepertinya kebijakan pendidikan diterapkan tanpa ada persiapan yang matang. Permasalahan pemberlakukan kurikulum juga terlihat dari kurangnya sosialisasi, guru seolah-olah mengalami serangan jantung tiba-tiba. Kita lihat saja meskipun dunia pendidikan selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah menjelang penerapan kurikulum baru. Tapi kegiatan yang ada hanya bersifat teoritik tanpa ada action plan yang jelas. Hal ini justru mengakibatkan guru sebagai central utama pelaku pendidikan hanya kaya teori tapi miskin dalam implementasi dan pengalaman. Jadi sangat wajar jika kegiatan yang pada awalnya bertujuan untuk membawa pencerahan bagi guru tapi justru membuat mereka semakin kebingungan. Bercermin dari keadaan tersebut, bukankah ini jelas termasuk salah satu malpraktek yang terjadi di dunia pendidikan kita? Suatu keadaan yang timbul akibat penerapan kebijakan penyelenggara pendidikan tanpa dibekali dengan adanya pertimbangan dan prosedural yang benar-benar matang.
            Di pertengahan tahun 2013 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) resmi diberhentikan diganti dengan Kurikulum 2013. Kurikulum yang dikembangkan atas dasar dan alasan tantangan masa depan, sehingga diharapkan mampu menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang siap bersaing dengan negara-negara Asean. Dan faktanya disaat sudah diberlakukan setengah jalan tapi justru diberhentikan. Ini jelas menjadikan keteraturan kurikulum di Indonesia menjadi sangat rancu. Penghapusan kurikulum 2013 dan diberlakukan kembali kurikulum KTSP  merupakan salah satu bukti terjadinya malpraktek dalam kurikulum pendidikan kita. Dan lagi guru, masyarakat bahkan siswa menjadi korban atas kebijakan pemerintah yang asal-asalan. Jika perubahan kurikulum baru bertujuan untuk memperbaiki dan merombak sistem pendidikan sebelumnya, maka penerapannya tidak boleh hanya sekedar untuk coba-coba. Seharusnya sebelum suatu kurikulum diberlakukan harus dikaji secara matang dan harus mempertimbangkan kesiapan pemakai dan pelaksana program pendidikan. Terlebih lagi, tidak mudah mengubah sistem yang sudah terbiasa dijalani dengan sistem lain dalam hitungan waktu yang relatif singkat.
            Mari belajar pada negera Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Di sana kurikulum yang diterapkan cukup konsisten, tidak ada istilah gonta-ganti kebijakan. Kewenangan dalam pembuatan kurikulum tidak berpusat pada pemerintah, pemerintah hanya membuat pedoman nasional pendidikan. Kewenangan diserahkan kepada guru, dan yang paling menonjol orang tua juga dilibatkan untuk mengevaluasi kurikulum, karena pemerintah sadar guru dan orang tualah yang memiliki peran penting dalam perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Sehingga peserta didik merasa senang bersekolah tidak terbebani dengan teori-teori berat, semua sekolah menunjukkan kualitas terbaiknya, tidak ada sekolah yang paling unggul karena sistem pendidikan di Finlandia dibangun dengan dasar kesetaraan, sekolah tidak hanya gratis tapi juga berkualitas karena memang pendidik-pendidik sebagai sentral utama pelaku program pendidikan memiliki mutu yang luar biasa, nasib guru sangat diperhatikan oleh pemerintah.
            Jadi di sini yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan Indonesia bukan hanya sekedar pembaharuan kurikulum, tapi pemerataan pendidikan  dan pembaharuan kualitas guru juga perlu mendapat perhatian khusus. Karena sehebat apapun subtansi yang ada pada kurikulum tidak dapat tersampaikan jika pendidikan kita belum merata apalagi guru hanya bermodal standar  bukan mengembangkan potensi yang sudah ada. Jikapun kewenangan pembuatan kurikulum masih dipegang oleh pemerintah, seharusnya pemerintah sebagai pemegang sentral kebijakan pendidikan juga harus melibatkan mahasiswa dan guru dalam pembaharuan-pembaharuan kurikulum, sosialisasi juga harus gencar dilakukan dengan persiapan yang cukup matang. Dengan  demikian tidak akan terjadi kedangkalan pengetahuan dalam mengimplementasikan program pendidikan di sekolah sehingga malpraktek kurikulum yang sering terjadi di negeri ini dapat  dihentikan.



Artikel Tentang Negeri

NEGARAWAN MUDA DI NEGERI POLITISI
Oleh Rima Wulan Safitri

Indonesia merupakan negera yang tidak hanya memiliki kemajemukan dalam budaya tetapi juga kemajemukan dalam permasalahan bangsa. Terungkapnya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di negara ini bukan merupakan tanda suatu keberhasilan, justru sebaliknya ini menandakan bahwa sangat minimnya sosok negarawan dalam pengembangan demokrasi dan lemahnya penguatan identitas karakter bangsa dalam diri politisi dan penjabat negeri. Sebenarnya yang dibutuhkan negara ini bukanlah politisi-politisi yang menyebar bubuk janji untuk menarik perhatian publik lalu menggunakan jabatannya hanya untuk kepentingan politik dan pribadi belaka, Indonesia butuh negarawan yaitu seseorang yang mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, seseorang yang memikirkan generasi yang akan datang bukan memikirkan pemilihan yang akan datang, seseorang yang memiliki ketepatan pemikiran dalam membuat ataupun memutuskan suatu kebijakan untuk menyejahterakan bukan untuk menjerumuskan dan membebani rakyat kecil, Indonesia butuh itu. Dan ini adalah tugas pemuda sebagai generasi penggerak sekaligus penerus bangsa untuk menjadi sosok negarawan muda di negeri yang dihuni dan dikuasi oleh para politisi. “Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Jika kau beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Bahkan pemimpin hebat bangsa Indonesia Soekarno telah menekankan bahwa pemuda adalah aset terpenting sebuah bangsa. Karena pemuda adalah nahkoda dan negara adalah kapal, hendak dibawa ke arah mana sang bahtera tergantung sang nahkoda.
      Kita lihat Indonesia wajahnya tergores berbagai permasalahan yang timbul akibat politisi dan penjabat negeri  mengabdi tidak dengan hati seperti permasalahan di bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya. Dalam bidang hukum sering kita temukan bahwa hukum cenderung tumpul ke atas tapi begitu tajam ke bawah. Gagalnya hukum di Indonesia dapat kita lihat dari maraknya praktek korupsi yang telah menjadi budaya ngetren di negeri ini. Banyak politisi daerah yang terlibat kasus korupsi di segala lapisan, mulai dari lurah, bupati, walikota hingga anggota dewan perwakilan daerah. Hukum sepertinya tunduk kepada para politisi negeri. Penegakan hukum yang setengah hati menjadikan negeri ini sebagai surga bagi koruptor. Sementara kita lihat rakyat-rakyat kecil yang tidak mempunyai jabatan dan wewenang seperti kasus yang terjadi pada nenek Asyani, rakyat kecil yang dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani Jatibanteng Situbondo telah ditahan pada 15 Desember 2014 dengan ancaman tahanan 5 tahun penjara, sungguh ironis hukum di negeri ini. Jika pelakunya memiliki status sosial tinggi maka hukum berjalan sangat lambat sementara jika pelakunya memiliki status sosial rendah maka proses penegakan hukum begitu cepat. Lagi-lagi hukum dibuat untuk menghancurkan rakyat kecil dan menjunjung tinggi kaum elit negeri.
      Permasalahan di bidang politik juga sangat memprihatinkan, kita lihat saja hari-hari menjelang pemilu baik dalam pemilihan di tingkat desa sampai pemilihan presiden. Politik uang menyebar luas, para politisi berusaha menyuap rakyat kecil dengan uang dua puluh ribuan sampai lima puluh ribuan. Sepertinya di mata politisi rakyat tidak ada harganya. Kita bayangkan saja dengan masa jabatan 5 tahun mereka membeli rakyat dengan harga lima puluh ribuan, satu hari rakyat hanya dihargai dua puluh tujuh rupiah. Negara kita negara demokrasi dari rakyat dan untuk rakyat, seharusnya rakyat yang cerdas tidak menerima segala bentuk suapan, karena harga diri dan martabat bangsa ini jauh lebih mahal dari milyaran rupiah. Di sisi lain, kita lihat banyak tim sukses para politisi berkoar-koar saling menjelekkan dan menjatuhkan bahkan tidak segan-segan membuat berita yang jauh dari kenyataan. Iya politik memang begitu kejam. Pemimpin besar seharusnya mampu berlapang dada, bukan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan.
                        Di bidang ekonomi, selalu saja yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin menjerit. Yang kaya sibuk mencari kursi dukungan dan memperkaya diri sementara yang miskin sibuk mencari sesuap nasi. Kita lihat saja kasus Salim Kancil dan Tosan pada 26 September 2015, rakyat kecil yang memperjuangkan penuh nasib lingkungan dan dengan keras hati melakukan penolakan terhadap penambangan liar, tapi justru dianggap mempersulit tujuan mereka hingga diperlakukan, dianiaya bahkan dibunuh secara keji. Dan mirisnya ini dilakukan oleh penjabat desa yang seharusnya mempunyai wewenang untuk melindungi rakyat dan lingkungan. Bahkan kades Hariyono salah satu tersangka dari kasus Salim Kancil dan Tosan juga mengungkapkan bahwa ada aktor intelektual yang juga menerima uang dari hasil penambangan pasir liar seperti di tingkat Polsek Pasirian, Koramil, Camat, Perhutani, Lembaga Permasyarakatan Desa Hutan sampai anggota DPRD Lumajang, lagi-lagi para pejabat negeri tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka punya. Ironis sungguh ironis, rakyat memilih mereka untuk melindungi, mengoyami dan membangun kesejahteran bersama bukan untuk diinjak-injak.
            Sementara dalam bidang pendidikan, selama ini kurikulum hanya cenderung sebagai bahan percobaan tanpa ada evaluasi yang jelas dari kurikulum sebelumnya, ganti menteri identik dengan ganti kurikulum. Bapak dan Ibu Politisi lihatlah negera Finlandia negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, peserta didik merasa senang bersekolah tidak terbebani dengan teori-teori berat, semua sekolah menunjukkan kualitas terbaiknya, tidak ada sekolah yang paling unggul karena sistem pendidikan di Finlandia dibangun dengan dasar kesetaraan, sekolah tidak hanya gratis tapi juga berkualitas karena memang pendidik-pendidik sebagai sentral utama pelaku program pendidikan memiliki mutu yang luar biasa, nasib guru sangat diperhatikan oleh pemerintah. Dalam pembuatan kurikulum pemerintah hanya membuat pedoman nasional pendidikan sementara kewenangan membuat kurikulum diserahkan kepada guru, karena pemerintah sadar gurulah yang lebih mengetahui tentang perkembangan peserta didik.
            Jadi di sini yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan Indonesia bukan hanya pembaharuan kurikulum, tapi pemerataan pendidikan  dan pembaharuan kualitas guru juga perlu mendapat perhatian khusus. Karena sehebat apapun subtansi yang ada pada kurikulum tidak dapat tersampaikan jika pendidikan kita belum merata apalagi guru hanya bermodal standar  bukan mengembangkan potensi yang sudah ada. Pemerintah sebagai pemegang sentral kebijakan pendidikan juga harus melibatkan mahasiswa dan guru dalam pembaharuan-pembaharuan kurikulum, dengan  demikian tidak akan terjadi kedangkalan pengetahuan dalam mengimplementasikan program pendidikan di sekolah.
            Dalam bidang sosial budaya, banyak para politisi negeri bertindak sesuka hati. Merokok tidak pada tempatnya, berpakaian layaknya model di catwalk, dengan perhiasan yang begitu mencolok, tubuh dipenuhi banyak tato, banyak terjadi perselingkuhan dan yang sering diperlihatkan di media seperti pada tanggal 8 April 2015 dalam rapat kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama DPR, dua anggota Komisi VII DPR RI saling mengeluarkan urat-urat otot hanya karena sebuah teguran. Ini budaya mana? Ini tradisi barat bukan Indonesia, bukan. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi tata krama. Menjadi pemimpin adalah teladan, siap tidak siap harus mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyat. Seharusnya para politisi negeri mampu memberdayakan dirinya dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik sehingga perilaku-perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng untuk mencari udang di balik batu.
Solusi dari kompleknya permasalahan yang ada di bangsa ini adalah di tangan pemuda. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa pemuda adalah bagian Indonesia. Jika Indonesia diibaratkan manusia, pemuda adalah kedua kaki. Apa yang terjadi jika mempunyai kedua kaki tetapi tidak mau menggerakkan? Bukankah kita akan start di tempat tanpa ada perubahan. Lantas apa yang terjadi jika kita menggerakkan ke arah yang salah? Bukan hanya kaki yang merasa rugi tetapi semua anggota tubuh ikut merasakan. Jangan tanyakan apa yang diberi tanah air untuk kita! Tanyakan pada diri apa yang mampu kita beri untuk tanah air! Lihatlah negeri ini banyak politisi-politisi mengaku negarawan hebat, berjuang mengabdi untuk negara itu katanya, tapi faktanya sebagian besar mengatasnamakan negara untuk kepentingan pribadi semata. Berangkat dari kenyataan tersebut, pemuda sebagai generasi penggerak sekaligus harapan dan penerus bangsa harus mampu membawa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik. Ini bukan hanya tugas tapi juga merupakan tanggung jawab. Jika saat ini Indonesia sedang kehabisan pemimpin yang tulus, arif, bijaksana, jujur, amanah, cerdas, peduli dan memikirkan rakyat. Maka sudah waktunya pemuda Indonesia mempersiapkan diri menjadi negarawan sejati. Karena jika kita ingin membersihkan sesuatu maka alat kebersihan itulah yang harus bersih terlebih dahulu.
Yang perlu dilakukan pemuda bangsa adalah cerdas dalam intelektual dan sikap serta terampil dalam keahlian. Menjadi pemuda yang cerdas dalam segala aspek seharusnya dapat diperoleh melalui hasil pendidikan khususnya di perguruan tinggi. Jadi yang perlu diperbaiki adalah mindset para pemuda kita bahwa seharusnya pendidikan tidak hanya mementingkan aspek pengetahuan tapi pengetahuan, sikap dan keterampilan merupakan hal yang sama pentingnya. Jika hanya pengetahuan yang didewakan maka para pemuda akan terbiasa menggunakan segala cara untuk mendapat nilai terbaik. Akibatnya kejujuran dan kerja keras dalam berproses tidak ada harganya, nilai bagaikan harga mati penentu kesuksesan seseorang. Jangan sampai kejujuran dikalahkan oleh sebuah harga diri. Jika sudah seperti ini maka hasil akhir yang didapat, Indonesia memang menang dalam teori tapi soal skill dan sikap Indonesia start di nol. Lalu bagaimana negara ini bisa berkembang menuju kemajuan jika output yang dihasilkan merupakan produk gagal pendidikan? Jadi masa-masa dalam lembaga pendidikan juga merupakan saat yang tepat bagi pemuda untuk menanamkan, membentuk dan membiasakan sikap nasionalis yang sesuai dengan karakter dan cita-cita bangsa. Tanamkan sikap jujur! Hentikan praktek menyontek! Hargai kerja keras dalam berproses dan tanamkan rasa takut bahwa apa yang kita kerjakan tak pernah luput dari pandangan Tuhan. Dengan pembiasaan sikap seperti ini maka wajah-wajah pemimpin bangsa yang cenderung membiarkan dirinya melakukan penyelewengan sehingga menyebabkan krisis bangsa ini semakin berlarut-larut tidak akan terulang di tangan generasi hebat bangsa.
Sedangkan keterampilan dalam memimpin, menyelesaikan suatu masalah dengan ide-ide dan pemikiran yang cemerlang dapat diperoleh dari pengalaman-pengalaman berorganisasi baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan, membuat karya-karya ilmiah, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut pemuda belajar bekerja tanpa pamrih, terjun langsung di masyarakat dan belajar memiliki loyalitas tanpa batas terhadap apa yang mereka kerjakan. Jadi yang terpenting pemuda harus mempunyai keinginan dan semangat untuk bergerak dan melakukan perubahan. Jangan menjadi pemuda yang malas, apatis dan tidak mempunyai kepekaan terhadap sosial bahkan terbawa arus karena tidak mempunyai filter yang kuat. Ingat belajar tanpa semangat dan kesungguhan bagai menempa besi tanpa dipanaskan. Marilah berjuang dan berusaha menjadi produk berhasil pendidikan, karena keberhasilan pemuda dalam pengetahuan, sikap dan skill merupakan jalan munculnya bibit-bibit negarawan muda di negeri politisi ini. Di tangan negarawan muda maka Indonesia akan menjadi negara yang besar, negara yang sesuai dengan cita-cita terdahulu bangsa. Masa depan bangsa di tangan kita negarawan muda Indonesia, mari bergerak siapkan diri lawan politisi berkedok negarawan!

Rabu, 06 Januari 2016

Kumpulan Cerpen (Antara Fiktif dan Realita)



Awal Tanpa Asa

Namaku Maya Febriana Putri Solastika. Nama yang cukup indah bukan? Nama yang terlalu indah bagi gadis yang suka mengeluh sepertiku. Aku adalah salah satu mahasiswi pendidikan di Universitas PGRI Solo. Universitas dengan almamater berwarna kuning. Sebenarnya ini begitu menyakitkan karena aku sangat mengidam-idamkan memakai almamater berwarna merah. Dan aku sama sekali tak menyukai warna kuning. Tapi ya sudahlah, mungkin takdir berkata lain.
 Hari-hariku di Universitas PGRI Solo berlalu begitu saja, tak ada yang berkesan. Tak kutemukan hal baru di sana, semua terasa membosankan. Banyak teman baru berlagak seperti jutawan. Dan aku tidak suka kondisi seperti ini, terlalu datar. Bagiku kuliah hanya menjadi rutinitas tanpa tujuan yang jelas, duduk manis berpura-pura mendengarkan nyanyian tanpa nada dari dosen. Nyanyian yang justru meninabobokanku.
Tapi pagi ini ada yang berbeda, seperti ada malaikat yang mengagetkanku. “Permisi Pak!” Sapa pria berkulit putih berwajah manis. “Maaf Pak, saya terlambat! Tadi di jalan kehabisan bensin Pak.” Tegasnya. Spontan satu kelas menertawakannya. “Nama saya Reza. Saya mahasiswa baru di kelas ini, pindahan dari kelas G Pak.” Lanjutnya. “Karena belum ada 15 menit Saudara terlambat, silahkan duduk!” Ucap Bapak Joko. “Terima kasih Pak.” Jawab Reza. Memang semua dosen yang memberi mata kuliah di kelas G juga mengajar di kelasku, jadi tidak ada masalah jika ada mahasiswa yang ingin pindah kelas.
“Bawa bolpein dua?” Tanya Reza padaku. Aku langsung menoleh ke samping. Ternyata kulihat sosok arjuna sedang duduk di sampingku. Pandanganku memerah, ‘Tuhan dia begitu manis.” Ungkapku dalam hati. Kuambil sesuatu di kotak pensil dan kuberikan kepada Reza tanpa bisa berkata apapun. “Hey, ini penghapus bukan bolpein.” Kata Reza kaget. Langsung kutarik tanganku, dan benar ternyata yang kuberikan pada Reza bukanlah bolpein tapi penghapus “tuing..tuing”. May, kau menciptakan kesan pertama yang sungguh memalukan.
Kali ini benar-benar ku pastikan apa yang kuambil dari kotak pensil tidak salah lagi. Aku tak ingin malu untuk kedua kalinya. Kucoba satu per satu bolpein yang ada di kotak pensil hingga kutemukan satu bolpein yang kuanggap cocok dipakai Reza. Bolpein dengan merk Kinko. Kuarahkan tanganku di hadapan Reza sambil menggenggam sebuah bolpein berwarna hitam. “Terimakasih! Tapi maaf aku sudah meminjam bolpein pada Nur.” Ucapnya dengan nada yang sangat manis. Kebetulan memang Nur duduk di belakang Reza. Wajahku seketika menjadi layu. Rasanya berat sekali menggerakan bibir ini untuk sekedar membalas ucapan Reza. “Ah! Dia tau nama Nur.” Pikirku dengan memasang wajah murung. Nur, iya Nur. Dia adalah satu-satunya sahabat terbaik yang kumiliki. Dia sosok sahabat yang bijaksana dan penuh cinta
Sekitar 2 jam mengikuti mata kuliah Landasan Pendidikan, baru kali ini rasa penat dan ngantuk sama sekali tak menghampiriku. Karena aku benar-benar tidak memperhatikan lagi apa yang disampaikan Pak dosen. Fokusku hanya tertuju pada sosok pria di sampingku. “Senyumnya, matanya indah sekali, Tuhan. Ini sungguh gila.” Gumanku dalam hati. Rasa-rasanya tak ingin hari ini berlalu begitu saja.
Waktu menunjukan pukul 11.30, ruang kelas mulai terasa panas. Suara adzan dhuhur sudah mulai kudengar. Itu berarti jam kuliah hari ini berakhir. Benar kan? Waktu enggan diajak kompromi, waktu enggan berhenti. Mungkin waktu iri melihatku duduk bersebelahan dengan sosok pangeran tanpa mahkota, Reza.
“Kurasa ku tlah jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Sulit bagiku untuk bisa berhenti mengagumi dirinya.” Ejek Nur dengan suara sumbangnya. “Kau sedang jatuh cinta Nur?” Tanyaku tanpa ekspresi. Nur hanya tertawa, membuatku semakin kebingungan. Aku ambil kaca spion yang ada dalam tasku. Kupandangi wajahku, tak ada yang aneh. Tapi Nur terus menertawakanku. “Hay, kau! Berhentilah tertawa! Apa yang sedang kau tertawakan wahai Nurlela?” Tanyaku sebal. “Tak ada May, tak ada. Hahahaha.” Tawa Nur semakin menjadi-jadi.
Kuanyuhkan kakiku semakin cepat. “Satu…dua…tiga…lari!”
“May, tunggu!” Pintanya. Hampir lima menit kami berkejar-kejaran. Akhirnya kami sampai ke suatu tempat yang aku anggap  sebagai rumah kedua. Tempat yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku mencapai gelar S.Pd. “May, kenapa kita berlari-larian ya?” Tanya Nur dengan nafas tersenga-senga. “Wkwkwkwkwkwk!” Sekarang giliranku menertawakan Nur. Kuambil segelas air lalu keberikan pada Nur, “Ini minum dulu Non, hahaha.” Setelah menghabiskan 3 gelas air, aku dan Nur menuju kamar masing-masing.
Sore ini pukul 16.00, aku dan Nur naik di atas genteng kost. Ku lihat banyak burung berkejaran di atas sana. Langit sudah mulai menampakkan warna merah seakan-akan marah melihat tingkah konyolku berlarian dan bernyanyi-nyanyi di atas genteng. Nur hanya duduk termenung. Kudekati dia, “Kau takut ya ?” Ejekku. Entah apa yang dipikirkan Nur, ia selalu berhasil menyembunyikan keresahan hatinya di hadapanku. Dan aku sama sekali tak mampu membaca pikiran bahkan membaca matanya pun aku belum mampu. Maafkan aku Nur, belum bisa jadi sahabat yang baik untukmu.
Banyak hal yang kuceritakan kepada Nur sore ini. Ia selalu bisa jadi pendengar yang baik untukku. Sementara Nur tetap tak banyak bicara, ia lebih suka mendengarkan daripada didengarkan. Tak ketinggalan, salah satu hal yang kuperbincangkan dengan Nur adalah tentang sosok pria yang baru ku kenal pagi tadi, Reza.
“Nur, Nur! Reza kok tahu namamu ya?” Tanyaku heran. “Hahaha, anda penasaran?” Jawab Nur mengejekku. Aku hanya memasang wajah murung. Kugerak-gerakkan bibirku sebagai tanda aku sedang sebal padanya. “May, May! Kamu taukan? Semua benda punyaku, aku beri lebel Nur. Biar tidak hilang, hahahaha. Ya mungkin Reza tahu namaku dari bolpein yang dipinjamnya. Hahaha.” Kami tertawa terbahak-bahak. Tidak terasa matahari sudah mulai bersembunyi. Tiupan angin yang kencang seolah-olah mengusir kami untuk segera turun. Suara adzan magrib mengakhiri perbincanganku sore ini. Kamipun turun dan segera mengambil air wudhu.
Reza, sebelum bertemu dengannya. Aku selalu menertawakan seseorang jika ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Menurutku itu hal yang konyol, tak mungkin terjadi di dunia nyata, itu hanya ada di ftv pagi. Tapi kali ini aku harus menertawakan diriku sendiri, aku kalah melawan apa yang kuyakini. Aku salah! Cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Sekarang aku mengalaminya, dan itu bukan hal yang konyol. Itu hal yang indah, bahkan sangat indah.
Waktu cepat sekali berputar hingga mentari sudah kembali menyembul di ufuk timur. Mulai ku beranjak dari tempat tidur. Suara kicauan burung-burung menambah suasana hangat pagi ini. Segera ku bergegas untuk mandi. Pagi ini aku harus benar-benar tampil semaksimal mungkin. Berharap Reza mengulurkan tangannya dan mengajakku berkenalan. Khayalan yang terlalu tinggi May, hahaha.
Dengan langkah terburu-buru sampailah aku di depan pintu kelas. Pintu berwarna coklat kusam. Langkahku seketika terhenti. Kulihat banyak wanita cantik bergerumbul di kursi belakang. “Apa yang sedang mereka lakukan?” Tanyaku dalam hati. Dengan penuh rasa penasaran kulanjutkan langkahku menuju bangku bagian depan dekat jendela dan meja dosen, tapi pandanganku tetap tertuju di bangku belakang. “Gubrak!” Aku terjatuh menabrak kursi. “Hahahaha.” Suara gela tawa langsung kudengar. Dengan wajah merah, mata berkaca-kaca menahan rasa sakit di bagian lutut sekaligus menahan rasa malu, aku segera bangun. Kurapikan celana dan jilbabku.  Dan selalu saja aku terlihat bodoh untuk kesekian kalinya. “Bodoh kau May, bodoh!”
Tragedi menabrak kursi ini membuat gerumbulan di bangku belakang terpecah. Kulihat sosok Reza ada di sana. Rasa penasaranku seketika hilang. “Pantas saja bergerumbul di belakang, Lha ada pangeran di sana.” Celotehanku dalam hati. Sebelum pergi meninggalkan Reza, wanita-wanita cantik itu mengulurkan tangannya mengajak Reza berkenalan. Dan aku hanya bisa mengigit jari saja. Tak ada keberanian seperti mereka. Hal ini benar-benar menyakitkan jika dibandingkan memar di bagian lututku. Aku kalah mencuri start, kalah kalah dan selalu kalah.
“Kata Desi kamu tadi nabrak kursi ya May hahaha?” tanya Nur sembari menertawakanku. “Tidak Nur, kursi yang menabrakku.” Jawaban konyol yang kuberikan pada Nur. “Hahahaha, jalan itu hati-hati. Pandangan lurus ke depan. Bukan lurus ke samping.” Ejek Nur. “Jangan berisik! Dosennya datang cah.” Ucap Iqbal ketua tingkat. Banyak ekspresi yang diperlihatkan teman-teman satu kelas ketika dosen mulai memberi mata kuliah. Ada yang sibuk mencatat, ada yang bermain HP.  Ada juga yang  berkali-kali menguap memperlihatkan rasa ngantuk dan bosan. Bahkan kulihat di pojok belakang ruang kelas, ada mahasiswa yang tidur. Sementara aku hanya sibuk melirik Reza. Tak ada materi kuliah yang bisa diserap oleh otak ini.
Kamis, satu minggu sebelum UAS. Benar-benar hari tersial yang pernah ada. Pertama karena Bu Risma dosen matematika mengadakan ulangan mendadak, yang sangat berhasil membuat kepala pusing dan perasaan tidak tenang. Banyak teman khawatir dengan hasil ulangan yang ada. Sementara aku tetap merasa biasa saja. Karena nilai ulanganku di awal semester ini memang tergolong kategori jelek, di bawah rata-rata. “Soalnya mematikan!” Sayup-sayup kudengar Ade mahasiswa yang tergolong aktif di kelas berkomentar. “Iya, susahnya minta ampun De.” Sahut Puji mahasiswi berambut hitam panjang dengan wajah tertekuk. “Dapat nilai 5 saja, ini sudah Alhamdulillah.” Sahut Aswin mahasiswa bertubuh besar berambut keriting. “Ecieh! Anak pinter lagi cemburut aja. Hahaha!” Aku ikut nimbrung. Terlihat jelas mendung menghiasi wajah mereka.
Di samping ulangan mendadak, kesialanku juga dikarenakan Ayu, mahasiswi dengan tubuh yang aduhai, bermata bulat dan berbibir tipis itu menanyakan suatu hal yang tak mungkin kujawab dengan kejujuran. “May, menurutmu aku cocok tidak sama Reza?” Tanya Ayu bersemangat. Kudiam sejenak, berpura-pura memikirkan apa yang ia tanyakan. “Tidak!” Jawabku tegas selang beberapa menit. “Lho kenapa?” Tanya Ayu penasaran. “Kau terlalu sempurna untuknya. Dengan wajahmu yang begitu cantik, Reza terlalu biasa untukmu.” Jawabku dengan tatapan lirik mendelik, tersenyum sinis dan kemudian pergi meninggalkan kelas. Hahaha kisah cinta ini terlalu menyakitkan. Aku hanya bisa jadi secret admirer. Reza begitu cuek padaku. Menyapaku saja tak pernah apalagi diajak ngobrol. Seakan-akan ia tak melihat keberadaanku di sini. Mungkin obrolan meminjam bolpein menjadi obrolan pertama dan terakhir.
30 November merupakan hari pertama UAS semester 1. Langit begitu tampak biru cerah dengan garis-garis biru tipis. Mulai kuayuhkan kakiku menuju kampus bercat merah dengan perasaan tak menentu.“Ulangan? Tak ada persiapan sama sekali.” Pikirku dalam hati.“May, tunggu!” Suara Nur memecahkan lamunanku. Kuhentikan langkahku, “Ayo cepat!”
“Hu..hu..hu..!” Nur mengela nafas panjang. “Hahaha maraton buk? Capek? Ayoo lari lagi!” Sengaja kuberlari meninggalkan Nur. Dengan wajah kemerah-merahan karena kepanasan Nur mengejarku. Ia sepertinya tak mau kalah. “May, awas kau!” Gumannya.
Sesampainya di kelas ternyata telah hadir beberapa mahasiswa di sana. Tepatnya di pojok belakang kelas, tempat mereka biasa ngrumpi. Dan entah mengapa aku lebih senang berada di bangku depan. Bukan karena percaya diri bisa mengerjakan ulangan. Tapi mungkin karena aku terlalu masa bodoh dalam urusan nilai. Belum ada penyesalan akan nilai-nilaiku yang tergolong jelek ini.
Jum’at, 5 Desember adalah hari terakhir UAS. Aku melangkah gontai menaiki anak tangga. Kebetulan Nur sudah berangkat terlebih dahulu. Kulihat Reza dari kejauhan sedang duduk di depan ruang ujian dengan memakai pakaian hitam putih. Kupikirkan cara untuk memancing perhatian Reza. Aku berhenti sejenak, “Nah kutemukan hehehe.” Mulai kupasang aksi konyol. Aku berlagak pincang di hadapan Reza. Sesekali melirik berharap Reza peduli. Mondar mandir tak tentu arah sambil berpura-pura membaca buku berharap ia menyapaku. Oh Tuhan, semua tingkah konyolku sama sekali tidak dipedulikan, menoleh saja tidak. Ingin rasanya ku lepas sepatu dan kulemparkan ke arahnya. Kau menyebalkan, sungguh! Kugigit bibirku kuat-kuat menahan kekecewaan. Pergi berlalu meninggalkan Reza dan aku langsung saja masuk ke ruang ujian.
“Brakkkkkkkkk.” Kubuka pintu ruang 402 yang memang tertutup dengan emosi tingkat tinggi. Selalu saja memalukan. Aku berdiri tegak sambil tersenyum malu. “Maaf  Pak tidak sengaja.” Ucapku pada dosen yang belum kukenal. Spontan pandangan mahasiswa yang ada di ruang 402 tertuju padaku. Oh Maya, kapan kamu berhenti mempermalukan diri sendiri. Aku benar-benar tidak tahu, jika ruang tersebut masih dipakai untuk ujian. Dengan sangat berhati-hati kututup kembali pintu tersebut. Reza yang kebetulan memang duduk di sebelah pintu tertawa terpingkal-pingkal. “Wkwkwkwkkwkwkwkw.” Tawa Reza kudengar. Aku malu bukan kepalang.
Dua minggu setelah UAS, nilai sudah dapat dilihat di papan pengumuman. Banyak sekali mahasiswa mengantri untuk melihat nilai akhir. Aku dan Nur menunggu antrian di dekat papan pengumuman. Tidak lama kemudian suara sepatu beriringan mulai meninggalkan papan pengumuman, waktunya aku dan Nur melihat nilai. “Alhamdulilah” terdengar dari mulut Nur. “Alhamdulilah May IPKku 3,8 kamu berapa?” Tanya Nur. Tanpa ekspresi aku menjawab 2,85. Nur memegang pundakku memasang wajah cemburut menunjukkan rasa kecewa. “Tidak apa-apa Nur, jangan cemberut! Jelek di awal itu tidak masalah, insyaallah ke depannya jauh lebih jelek Nur. wkwkwk.” Ejekku. Mungkin benar kata pepatah “melihat diri sendiri gagal itu memang sakit, tapi jauh lebih sakit jika melihat teman dekat atau sahabat jauh lebih gagal dibanding kita”. Ya mungkin itu yang dirasakan Nur.
“Ingat perjuangan orang tuamu, May! Bayarlah kerja keras mereka dengan nilai yang memuaskan! Ya aku tau, kampus ini memanglah bukan kampus impianmu. Terkadang memang apa yang kita harapkan tak sesuai kenyataan May, tapi inilah hidup. Inilah kenyataan yang harus dijalani. Buktikan kepada Tuhan, kamu akan berhasil di sini! Jangan pernah takut dengan masa depanmu di sini May, karena aku percaya masa depan akan baik ketika masa kini, ketika hari ini kamu mampu melakukan yang terbaik. Semangat! Berjuanglah May!” Walaupun tak banyak bicara, Nur tak pernah bosan menasehatiku. Aku langsung memeluk Nur, “Maafkan aku Nur! Maafkan aku ayah, ibu! Maafkan atas kepayahanku! Semoga penyesalan ini belum terlambat, akan kuperbaiki nilai-nilaiku yang anjlok pada semester depan. Untuk ayah, ibu, Nur dan masa depanku. Kamu bisa May!” ucapku dalam hati.
Sementara tentang perasaanku, tentang kekagumanku kepada Reza masih terus berlanjut. Tapi lebih baik aku mengaguminya dalam diam saja, karena memang saat ini dia terlalu sempurna untuk bersamaku. “Perbaiki diri terlebih dahulu May, jika sudah merasa pantas silahkan kamu ungkapkan! Silahkan! Percayalah semua akan indah pada waktunya.”