Awal Tanpa Asa
Namaku
Maya Febriana Putri Solastika. Nama yang cukup indah bukan? Nama yang terlalu
indah bagi gadis yang suka mengeluh sepertiku. Aku adalah salah satu mahasiswi
pendidikan di Universitas PGRI Solo. Universitas dengan almamater berwarna kuning.
Sebenarnya ini begitu menyakitkan karena aku sangat mengidam-idamkan memakai
almamater berwarna merah. Dan aku sama sekali tak menyukai warna kuning. Tapi
ya sudahlah, mungkin takdir berkata lain.
Hari-hariku di Universitas PGRI Solo berlalu
begitu saja, tak ada yang berkesan. Tak kutemukan hal baru di sana, semua
terasa membosankan. Banyak teman baru berlagak seperti jutawan. Dan aku tidak
suka kondisi seperti ini, terlalu datar. Bagiku kuliah hanya menjadi rutinitas
tanpa tujuan yang jelas, duduk manis berpura-pura mendengarkan nyanyian tanpa
nada dari dosen. Nyanyian yang justru meninabobokanku.
Tapi
pagi ini ada yang berbeda, seperti ada malaikat yang mengagetkanku. “Permisi
Pak!” Sapa pria berkulit putih berwajah manis. “Maaf Pak, saya terlambat! Tadi
di jalan kehabisan bensin Pak.” Tegasnya. Spontan satu kelas menertawakannya.
“Nama saya Reza. Saya mahasiswa baru di kelas ini, pindahan dari kelas G Pak.”
Lanjutnya. “Karena belum ada 15 menit Saudara terlambat, silahkan duduk!” Ucap
Bapak Joko. “Terima kasih Pak.” Jawab Reza. Memang semua dosen yang memberi
mata kuliah di kelas G juga mengajar di kelasku, jadi tidak ada masalah jika
ada mahasiswa yang ingin pindah kelas.
“Bawa
bolpein dua?” Tanya Reza padaku. Aku langsung menoleh ke samping. Ternyata
kulihat sosok arjuna sedang duduk di sampingku. Pandanganku memerah, ‘Tuhan dia
begitu manis.” Ungkapku dalam hati. Kuambil sesuatu di kotak pensil dan
kuberikan kepada Reza tanpa bisa berkata apapun. “Hey, ini penghapus bukan
bolpein.” Kata Reza kaget. Langsung kutarik tanganku, dan benar ternyata yang
kuberikan pada Reza bukanlah bolpein tapi penghapus “tuing..tuing”. May, kau menciptakan kesan pertama yang sungguh
memalukan.
Kali
ini benar-benar ku pastikan apa yang kuambil dari kotak pensil tidak salah
lagi. Aku tak ingin malu untuk kedua kalinya. Kucoba satu per satu bolpein yang
ada di kotak pensil hingga kutemukan satu bolpein yang kuanggap cocok dipakai
Reza. Bolpein dengan merk Kinko. Kuarahkan tanganku di hadapan Reza sambil
menggenggam sebuah bolpein berwarna hitam. “Terimakasih! Tapi maaf aku sudah
meminjam bolpein pada Nur.” Ucapnya dengan nada yang sangat manis. Kebetulan
memang Nur duduk di belakang Reza. Wajahku seketika menjadi layu. Rasanya berat
sekali menggerakan bibir ini untuk sekedar membalas ucapan Reza. “Ah! Dia tau
nama Nur.” Pikirku dengan memasang wajah murung. Nur, iya Nur. Dia adalah
satu-satunya sahabat terbaik yang kumiliki. Dia sosok sahabat yang bijaksana
dan penuh cinta
Sekitar
2 jam mengikuti mata kuliah Landasan Pendidikan, baru kali ini rasa penat dan
ngantuk sama sekali tak menghampiriku. Karena aku benar-benar tidak
memperhatikan lagi apa yang disampaikan Pak dosen. Fokusku hanya tertuju pada
sosok pria di sampingku. “Senyumnya, matanya indah sekali, Tuhan. Ini sungguh
gila.” Gumanku dalam hati. Rasa-rasanya tak ingin hari ini berlalu begitu saja.
Waktu
menunjukan pukul 11.30, ruang kelas mulai terasa panas. Suara adzan dhuhur
sudah mulai kudengar. Itu berarti jam kuliah hari ini berakhir. Benar kan?
Waktu enggan diajak kompromi, waktu enggan berhenti. Mungkin waktu iri
melihatku duduk bersebelahan dengan sosok pangeran tanpa mahkota, Reza.
“Kurasa
ku tlah jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Sulit bagiku untuk bisa
berhenti mengagumi dirinya.” Ejek Nur dengan suara sumbangnya. “Kau sedang
jatuh cinta Nur?” Tanyaku tanpa ekspresi. Nur hanya tertawa, membuatku semakin
kebingungan. Aku ambil kaca spion yang ada dalam tasku. Kupandangi wajahku, tak
ada yang aneh. Tapi Nur terus menertawakanku. “Hay, kau! Berhentilah tertawa! Apa
yang sedang kau tertawakan wahai Nurlela?” Tanyaku sebal. “Tak ada May, tak
ada. Hahahaha.” Tawa Nur semakin menjadi-jadi.
Kuanyuhkan
kakiku semakin cepat. “Satu…dua…tiga…lari!”
“May,
tunggu!” Pintanya. Hampir lima menit kami berkejar-kejaran. Akhirnya kami
sampai ke suatu tempat yang aku anggap
sebagai rumah kedua. Tempat yang akan menjadi saksi bisu perjuanganku
mencapai gelar S.Pd. “May, kenapa kita berlari-larian ya?” Tanya Nur dengan
nafas tersenga-senga. “Wkwkwkwkwkwk!” Sekarang giliranku menertawakan Nur. Kuambil
segelas air lalu keberikan pada Nur, “Ini minum dulu Non, hahaha.” Setelah
menghabiskan 3 gelas air, aku dan Nur menuju kamar masing-masing.
Sore
ini pukul 16.00, aku dan Nur naik di atas genteng kost. Ku lihat banyak burung
berkejaran di atas sana. Langit sudah mulai menampakkan warna merah seakan-akan
marah melihat tingkah konyolku berlarian dan bernyanyi-nyanyi di atas genteng.
Nur hanya duduk termenung. Kudekati dia, “Kau takut ya ?” Ejekku. Entah apa
yang dipikirkan Nur, ia selalu berhasil menyembunyikan keresahan hatinya di
hadapanku. Dan aku sama sekali tak mampu membaca pikiran bahkan membaca matanya
pun aku belum mampu. Maafkan aku Nur, belum bisa jadi sahabat yang baik
untukmu.
Banyak
hal yang kuceritakan kepada Nur sore ini. Ia selalu bisa jadi pendengar yang
baik untukku. Sementara Nur tetap tak banyak bicara, ia lebih suka mendengarkan
daripada didengarkan. Tak ketinggalan, salah satu hal yang kuperbincangkan
dengan Nur adalah tentang sosok pria yang baru ku kenal pagi tadi, Reza.
“Nur,
Nur! Reza kok tahu namamu ya?” Tanyaku heran. “Hahaha, anda penasaran?” Jawab
Nur mengejekku. Aku hanya memasang wajah murung. Kugerak-gerakkan bibirku
sebagai tanda aku sedang sebal padanya. “May, May! Kamu taukan? Semua benda
punyaku, aku beri lebel Nur. Biar tidak hilang, hahahaha. Ya mungkin Reza tahu
namaku dari bolpein yang dipinjamnya. Hahaha.” Kami tertawa terbahak-bahak. Tidak
terasa matahari sudah mulai bersembunyi. Tiupan angin yang kencang seolah-olah
mengusir kami untuk segera turun. Suara adzan magrib mengakhiri perbincanganku
sore ini. Kamipun turun dan segera mengambil air wudhu.
Reza,
sebelum bertemu dengannya. Aku selalu menertawakan seseorang jika ia jatuh
cinta pada pandangan pertama. Menurutku itu hal yang konyol, tak mungkin
terjadi di dunia nyata, itu hanya ada di ftv pagi. Tapi kali ini aku harus
menertawakan diriku sendiri, aku kalah melawan apa yang kuyakini. Aku salah!
Cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Sekarang aku mengalaminya,
dan itu bukan hal yang konyol. Itu hal yang indah, bahkan sangat indah.
Waktu
cepat sekali berputar hingga mentari sudah kembali menyembul di ufuk timur. Mulai
ku beranjak dari tempat tidur. Suara kicauan burung-burung menambah suasana
hangat pagi ini. Segera ku bergegas untuk mandi. Pagi ini aku harus benar-benar
tampil semaksimal mungkin. Berharap Reza mengulurkan tangannya dan mengajakku
berkenalan. Khayalan yang terlalu tinggi May, hahaha.
Dengan
langkah terburu-buru sampailah aku di depan pintu kelas. Pintu berwarna coklat
kusam. Langkahku seketika terhenti. Kulihat banyak wanita cantik bergerumbul di
kursi belakang. “Apa yang sedang mereka lakukan?” Tanyaku dalam hati. Dengan
penuh rasa penasaran kulanjutkan langkahku menuju bangku bagian depan dekat
jendela dan meja dosen, tapi pandanganku tetap tertuju di bangku belakang. “Gubrak!”
Aku terjatuh menabrak kursi. “Hahahaha.” Suara gela tawa langsung kudengar. Dengan
wajah merah, mata berkaca-kaca menahan rasa sakit di bagian lutut sekaligus
menahan rasa malu, aku segera bangun. Kurapikan celana dan jilbabku. Dan selalu saja aku terlihat bodoh untuk
kesekian kalinya. “Bodoh kau May, bodoh!”
Tragedi
menabrak kursi ini membuat gerumbulan di bangku belakang terpecah. Kulihat
sosok Reza ada di sana. Rasa penasaranku seketika hilang. “Pantas saja
bergerumbul di belakang, Lha ada pangeran di sana.” Celotehanku dalam hati. Sebelum
pergi meninggalkan Reza, wanita-wanita cantik itu mengulurkan tangannya
mengajak Reza berkenalan. Dan aku hanya bisa mengigit jari saja. Tak ada keberanian
seperti mereka. Hal ini benar-benar menyakitkan jika dibandingkan memar di
bagian lututku. Aku kalah mencuri start, kalah kalah dan selalu kalah.
“Kata
Desi kamu tadi nabrak kursi ya May hahaha?” tanya Nur sembari menertawakanku. “Tidak
Nur, kursi yang menabrakku.” Jawaban konyol yang kuberikan pada Nur. “Hahahaha,
jalan itu hati-hati. Pandangan lurus ke depan. Bukan lurus ke samping.” Ejek
Nur. “Jangan berisik! Dosennya datang cah.” Ucap Iqbal ketua tingkat. Banyak
ekspresi yang diperlihatkan teman-teman satu kelas ketika dosen mulai memberi
mata kuliah. Ada yang sibuk mencatat, ada yang bermain HP. Ada juga yang
berkali-kali menguap memperlihatkan rasa ngantuk dan bosan. Bahkan
kulihat di pojok belakang ruang kelas, ada mahasiswa yang tidur. Sementara aku
hanya sibuk melirik Reza. Tak ada materi kuliah yang bisa diserap oleh otak
ini.
Kamis,
satu minggu sebelum UAS. Benar-benar hari tersial yang pernah ada. Pertama
karena Bu Risma dosen matematika mengadakan ulangan mendadak, yang sangat
berhasil membuat kepala pusing dan perasaan tidak tenang. Banyak teman khawatir
dengan hasil ulangan yang ada. Sementara aku tetap merasa biasa saja. Karena
nilai ulanganku di awal semester ini memang tergolong kategori jelek, di bawah
rata-rata. “Soalnya mematikan!” Sayup-sayup kudengar Ade mahasiswa yang
tergolong aktif di kelas berkomentar. “Iya, susahnya minta ampun De.” Sahut
Puji mahasiswi berambut hitam panjang dengan wajah tertekuk. “Dapat nilai 5 saja,
ini sudah Alhamdulillah.” Sahut Aswin mahasiswa bertubuh besar berambut
keriting. “Ecieh! Anak pinter lagi cemburut aja. Hahaha!” Aku ikut nimbrung.
Terlihat jelas mendung menghiasi wajah mereka.
Di
samping ulangan mendadak, kesialanku juga dikarenakan Ayu, mahasiswi dengan
tubuh yang aduhai, bermata bulat dan berbibir tipis itu menanyakan suatu hal
yang tak mungkin kujawab dengan kejujuran. “May, menurutmu aku cocok tidak sama
Reza?” Tanya Ayu bersemangat. Kudiam sejenak, berpura-pura memikirkan apa yang
ia tanyakan. “Tidak!” Jawabku tegas selang beberapa menit. “Lho kenapa?” Tanya
Ayu penasaran. “Kau terlalu sempurna untuknya. Dengan wajahmu yang begitu
cantik, Reza terlalu biasa untukmu.” Jawabku dengan tatapan lirik mendelik,
tersenyum sinis dan kemudian pergi meninggalkan kelas. Hahaha kisah cinta ini
terlalu menyakitkan. Aku hanya bisa jadi secret
admirer. Reza begitu cuek padaku. Menyapaku saja tak pernah apalagi diajak
ngobrol. Seakan-akan ia tak melihat keberadaanku di sini. Mungkin obrolan
meminjam bolpein menjadi obrolan pertama dan terakhir.
30
November merupakan hari pertama UAS semester 1. Langit begitu tampak biru cerah
dengan garis-garis biru tipis. Mulai kuayuhkan kakiku menuju kampus bercat
merah dengan perasaan tak menentu.“Ulangan? Tak ada persiapan sama sekali.”
Pikirku dalam hati.“May, tunggu!” Suara Nur memecahkan lamunanku. Kuhentikan
langkahku, “Ayo cepat!”
“Hu..hu..hu..!”
Nur mengela nafas panjang. “Hahaha maraton buk? Capek? Ayoo lari lagi!” Sengaja
kuberlari meninggalkan Nur. Dengan wajah kemerah-merahan karena kepanasan Nur
mengejarku. Ia sepertinya tak mau kalah. “May, awas kau!” Gumannya.
Sesampainya
di kelas ternyata telah hadir beberapa mahasiswa di sana. Tepatnya di pojok
belakang kelas, tempat mereka biasa ngrumpi. Dan entah mengapa aku lebih senang
berada di bangku depan. Bukan karena percaya diri bisa mengerjakan ulangan. Tapi
mungkin karena aku terlalu masa bodoh dalam urusan nilai. Belum ada penyesalan
akan nilai-nilaiku yang tergolong jelek ini.
Jum’at,
5 Desember adalah hari terakhir UAS. Aku melangkah gontai menaiki anak tangga. Kebetulan
Nur sudah berangkat terlebih dahulu. Kulihat Reza dari kejauhan sedang duduk di
depan ruang ujian dengan memakai pakaian hitam putih. Kupikirkan cara untuk
memancing perhatian Reza. Aku berhenti sejenak, “Nah kutemukan hehehe.” Mulai
kupasang aksi konyol. Aku berlagak pincang di hadapan Reza. Sesekali melirik
berharap Reza peduli. Mondar mandir tak tentu arah sambil berpura-pura membaca
buku berharap ia menyapaku. Oh Tuhan, semua tingkah konyolku sama sekali tidak
dipedulikan, menoleh saja tidak. Ingin rasanya ku lepas sepatu dan kulemparkan
ke arahnya. Kau menyebalkan, sungguh! Kugigit bibirku kuat-kuat menahan
kekecewaan. Pergi berlalu meninggalkan Reza dan aku langsung saja masuk ke
ruang ujian.
“Brakkkkkkkkk.”
Kubuka pintu ruang 402 yang memang tertutup dengan emosi tingkat tinggi. Selalu
saja memalukan. Aku berdiri tegak sambil tersenyum malu. “Maaf Pak tidak sengaja.” Ucapku pada dosen yang
belum kukenal. Spontan pandangan mahasiswa yang ada di ruang 402 tertuju
padaku. Oh Maya, kapan kamu berhenti mempermalukan diri sendiri. Aku
benar-benar tidak tahu, jika ruang tersebut masih dipakai untuk ujian. Dengan
sangat berhati-hati kututup kembali pintu tersebut. Reza yang kebetulan memang duduk
di sebelah pintu tertawa terpingkal-pingkal. “Wkwkwkwkkwkwkwkw.” Tawa Reza
kudengar. Aku malu bukan kepalang.
Dua
minggu setelah UAS, nilai sudah dapat dilihat di papan pengumuman. Banyak
sekali mahasiswa mengantri untuk melihat nilai akhir. Aku dan Nur menunggu
antrian di dekat papan pengumuman. Tidak lama kemudian suara sepatu beriringan
mulai meninggalkan papan pengumuman, waktunya aku dan Nur melihat nilai. “Alhamdulilah”
terdengar dari mulut Nur. “Alhamdulilah May IPKku 3,8 kamu berapa?” Tanya Nur.
Tanpa ekspresi aku menjawab 2,85. Nur memegang pundakku memasang wajah cemburut
menunjukkan rasa kecewa. “Tidak apa-apa Nur, jangan cemberut! Jelek di awal itu
tidak masalah, insyaallah ke depannya jauh lebih jelek Nur. wkwkwk.” Ejekku. Mungkin
benar kata pepatah “melihat diri sendiri gagal itu memang sakit, tapi jauh
lebih sakit jika melihat teman dekat atau sahabat jauh lebih gagal dibanding
kita”. Ya mungkin itu yang dirasakan Nur.
“Ingat
perjuangan orang tuamu, May! Bayarlah kerja keras mereka dengan nilai yang
memuaskan! Ya aku tau, kampus ini memanglah bukan kampus impianmu. Terkadang
memang apa yang kita harapkan tak sesuai kenyataan May, tapi inilah hidup.
Inilah kenyataan yang harus dijalani. Buktikan kepada Tuhan, kamu akan berhasil
di sini! Jangan pernah takut dengan masa depanmu di sini May, karena aku
percaya masa depan akan baik ketika masa kini, ketika hari ini kamu mampu
melakukan yang terbaik. Semangat! Berjuanglah May!” Walaupun tak banyak bicara,
Nur tak pernah bosan menasehatiku. Aku langsung memeluk Nur, “Maafkan aku Nur!
Maafkan aku ayah, ibu! Maafkan atas kepayahanku! Semoga penyesalan ini belum
terlambat, akan kuperbaiki nilai-nilaiku yang anjlok pada semester depan. Untuk
ayah, ibu, Nur dan masa depanku. Kamu bisa May!” ucapku dalam hati.
Sementara
tentang perasaanku, tentang kekagumanku kepada Reza masih terus berlanjut. Tapi
lebih baik aku mengaguminya dalam diam saja, karena memang saat ini dia terlalu
sempurna untuk bersamaku. “Perbaiki diri terlebih dahulu May, jika sudah merasa
pantas silahkan kamu ungkapkan! Silahkan! Percayalah semua akan indah pada
waktunya.”